
Wacana ini kembali memanas. Di saat negara-negara tetangga sudah berlari kencang, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengonfirmasi bahwa mereka masih dalam tahap “mengkaji” peraturan untuk Exchange-Traded Fund (ETF) berbasis kripto di Indonesia. Produk ini sejatinya adalah jembatan yang ditunggu-tunggu, memungkinkan investor awam sekalipun untuk mencicipi aset digital seperti Bitcoin dan Ethereum semudah membeli saham di bursa efek.
Namun, kata “mengkaji” yang kembali didengungkan terasa seperti sebuah deja vu yang melelahkan bagi para pelaku pasar.
Kajian, Benchmarking, dan ‘Sandbox’: Tiga Kata Sakti untuk Sebuah Penantian?
Secara resmi, narasi OJK penuh dengan kehati-hatian. Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK, Hasan Fawzi, menyatakan bahwa prosesnya tidak bisa terburu-buru.
“Kami masih terus melakukan kajian dan benchmarking terkait penerapan ETF kripto di negara lain,” ujar Hasan Fawzi dalam beberapa kesempatan.
Dalihnya logis: mempertimbangkan semua aspek, mulai dari perlindungan investor, kesiapan infrastruktur, hingga mitigasi risiko. Negara seperti Hong Kong, Thailand, bahkan Amerika Serikat menjadi tolok ukur. Namun, bagi investor yang melihat momentum global terus berjalan, pertanyaan sinis pun muncul: Berapa lama lagi kita harus “membandingkan” sesuatu yang sudah terbukti berjalan di tempat lain?
Apakah kita benar-benar butuh waktu bertahun-tahun hanya untuk meniru inovasi yang sudah matang?
Sebuah ‘Kue’ Lezat yang Masih di Dalam Kaca
Ironisnya, hampir semua pihak sepakat bahwa ETF Kripto adalah sebuah keniscayaan. Manfaatnya terpampang jelas, sebuah kemudahan yang hingga kini masih menjadi angan-angan bagi investor di Indonesia:
- Investasi Tanpa Ribet: Ucapkan selamat tinggal pada kerumitan mengelola crypto wallet atau ketakutan kehilangan private key. Semua diperdagangkan lewat sekuritas terpercaya.
- Perlindungan yang Dijanjikan: Produk yang diawasi OJK dan diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia (BEI) jelas menawarkan rasa aman. Namun, keamanan ini terasa semu jika produknya sendiri tak kunjung hadir.
- Diversifikasi Mudah: Peluang untuk memiliki portofolio aset kripto yang beragam dalam satu produk kini masih tertahan di balik pintu birokrasi yang tebal.
Manfaatnya jelas, pasarnya ada, dan potensinya triliunan rupiah. Namun, “kue” lezat ini seolah hanya dipajang di etalase kaca—menggoda, namun tak bisa disentuh.
Janji Inovasi di Tengah Realita Birokrasi
Di tengah penantian, OJK bukannya diam. Mereka memperkenalkan sebuah konsep bernama regulatory sandbox, sebuah ruang uji coba terbatas untuk inovasi produk keuangan.
“OJK membuka ruang untuk pengembangan produk sejenis dan saat ini sedang melakukan uji coba terhadap produk bernama ‘unit dana kripto’ dalam kerangka regulatory sandbox,” ungkap Hasan Fawzi.
Secara teori, ini adalah langkah maju. Namun, di lapangan, sandbox seringkali diartikan sebagai proses uji coba panjang tanpa jaminan kelulusan atau tanggal pasti. Di satu sisi ada janji inovasi, di sisi lain ada realita proses yang berjalan lambat. Bahkan dukungan dari tokoh sekelas Ketua MPR RI sekaligus Ketua Umum Ikatan Motor Indonesia (IMI), Bambang Soesatyo, yang vokal mendorong kemajuan aset digital, seolah belum cukup untuk mempercepat roda birokrasi.
Jadi, Sampai Kapan?
Pada akhirnya, narasi resmi akan selalu tentang kehati-hatian demi “melindungi investor”. Sebuah tujuan mulia, namun terasa kontradiktif ketika investor justru kehilangan potensi keuntungan dan momentum pasar global yang tidak menunggu siapa pun.
Di tengah derasnya arus inovasi keuangan dunia, pasar modal Indonesia masih menanti dalam ketidakpastian. Pertanyaannya kembali ke sentimen para netizen di awal: apakah kehati-hatian ini adalah sebuah bentuk kearifan, atau sekadar penundaan yang membuat Indonesia sekali lagi hanya menjadi penonton?
(BS)